Dari Ngalian ke Sendowo
Penulis :
Nh Dini
Desain sampul :
Suprianto
Ilustrasi Menara Kudus :
Ade Pristi
Setter :
Fitri Yuniar
ISBN :
9786020316512
Halaman :
268
Cetakan :
Pertama-25 Mei 2015
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Harga :
Rp 65.000
Garis nasib
tidak selalu lurus. Juga tidak selalu mulus. Di samping kepuasan-kepuasan,
kegembiraan-kegembiraan, tentu tersuguh juga kerumpilan dan
kekecewaan dalam kehidupan manusia.
~hal 244
~hal 244
ke.rum.pil.an
Nomina (kata benda) perihal rumpil; kesukaran; kesulitan; kesusahan: berbagai kerumpilan yang dihadapi untuk mencapai keberhasilan
Nomina (kata benda) perihal rumpil; kesukaran; kesulitan; kesusahan: berbagai kerumpilan yang dihadapi untuk mencapai keberhasilan
Salah satu
keuntungan membaca karya Eyang Nh. Dini adalah saya bertambahnya kosakata saya.
Tentunya selain hiburan membaca kisah dalam Seri Cerita Kenangan. Bagi
banyak orang yang berkecimpung di dunia sastra, kata kerumpilan mungkin bukan
kata yang baru. Tapi bagi saya yang hanya sekedar hobi membaca, kata tersebut
menjadi tambahan kosakata baru.
Sebanyak
xxi + 268 + xxi halaman berisi autobiografi si penulis, saya
meyebutnya dengan sapaan eyang. Buku ini memaparkan tentang kehidupan
eyang diusia sepuh. Meski berusia senja, eyang seakan memiliki energi yang
tidak pernah habis untuk mengurusi pondok baca, menjadi pembicara serta
berbagai keiatan yang terkait dengan dunia sastar di tanah air.
Kisah dalam buku
ini terjadi antara kurun tahun 2000-2006 saat eyang memutuskan untuk tinggal di
rumah jompo Yayasan Wredha Mulya di Sendowo, Sleman, DIY, YWM.
Tidak hanya
kisah, jika diperhatikan dengan lebih seksama, eyang juga memasukan tambahan
ilmu saat mengulas tentang suatu hal. Saat menerima hadiah dari Ratu
Sirikit di Bangkok misalnya, eyang juga memberikan ulasan singkat mengenai
latar belakang Thailand. Selain membuat pembaca memiliki bayangan mengenai
lokasi kisah, ikut merasakan apa yang dirasakan penulis, pembaca juga menjadi
tahu tentang negara Thailand, meski hanya garis besar saja.
Saya terbuai
dengan paduan rangkaian kata dan sikap eyang yang mandiri meski usia sudah
sepuh. Tak ada alasan untuk tidak mandiri. Eyang justru memilih tinggal di YWM
karena memiliki keinginan untuk tidak merepotkan orang lain. Kontras memang,
saat banyak penghuni panti jompo yang merasa dibuang oleh keluarganya karena
dikirim ke sana.
Satu lagi
prinsip hidup eyang yang sangat saya kagumi adalah cara berpikir yang sangat
realitis. Perihal keuangan eyang sangat mandiri, segala pengeluaran tentunya
menjadi pemikirannya. Tak terkecuali Pondok Baca. Saat menerima hadiah songket,
eyang meminta seorang pembesar daerah menukar songket itu dengan sejumlah uang.
Bukan tidak menghargai pemberian, eyang sangat sadar tidak akan mampu
mempergunakan kain tebal tersebut. Uang bermanfaat bagi pengembangan serta
kelangsungan Pondok Baca.
Saya jadi
teringat sebuah tas jinjing halus yang saya hadiahkan saat bertemu. Melihat
eyang yang kerepotan membawa aneka barang, saya aturi tas tersebut
kebetulan masih baru. Jika dipakai, tentunya saya bersyukur, jika nasibnya
seperti songket itu, saya juga bersyukur karena telah berpartisipasi dalam
urusan Pondok Baca, meski secara tidak langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar